Makna tanpa Makna

Ulasan kecil dari pertunjukkan Soydivision: „Tumpeng Tindih“

You can read the translated English version here.

Saat itu udara di Berlin begitu hangat menyentuh pori-poriku. Aku berjalan sejajar dengan dinding-dinding bata yang diam. Lalu tiba pada ujungnya, yakni sebuah gerbang. Menyebrangi gerbang, aku seperti diantarkan pada sebuah masa yang aku tidak tahu kapan. Ada sebuah menara yang permukaannya terbuat dari bata, berdiri tegak tepat di antara dua tembok dan pintu yang membentuk sudut. Sisanya tergelar tanah lapang. Bangunan ini tidak nampak seperti studio, walaupun menurut mesin pencari yang aku tidak ingin sebut namanya, bangunan ini bernama Ufer Studio. Di situ lah aku melihat pertunjukkan Soydivision untuk pertama kalinya.

Pertunjukkan itu bertajuk „Tumpeng Tindih“. Dari namanya aku tahu kata itu dari bahasa Indonesia. Alih-alih tumpeng, setahuku kata yang seharusnya adalah „Tumpang Tindih“. Tumpang tindih yang berarti saling menindih, besusun-susun, atau bercampur aduk. Kata tumpang kemudian berganti makna ketika huruf a dirubah menjadi e. Tumpeng berarti nasi yang berbentuk kerucut. Begitulah bahasa, satu huruf dapat mengubah seluruh cerita.

Aku membaca cerita yang bertumpang-tindih dalam pertunjukan tersebut. Awalnya seorang wanita muncul dari balik dinding pembatas besi yang sudah agak berkarat. Diiringi sayup-sayup angin musim panas, dia perlahan berjalan ke depan menara, kemudian menari-nari. Aku tidak ingat lagi adegan apa berikutnya. Kejadian itu sebenarnya belum terlalu lama, tapi ingatanku tidak dapat merekam semuanya. Adegan lain yang kuingat adalah ketika seorang aktor lain, yang kini kutahu namanya Bilawa, bermain gitar di singgasananya, tepat di sebelah pembatas besi tempat muncul perempuan tadi, perempuan yang belakangan kutahu namanya Riyako. Riyako lebih banyak bergerak di daerah sekitar menara. Di tengah-tengah pertunjukkan, dia sempat mengundang beberapa penonton untuk berdiri di dekatnya, menjawab beberapa pertanyaanya. Dia juga sempat mengajak penonton menggerakkan tangannya kedepan dan kebelakang sambil berkata kurang lebih: „Segala yang kesialan diusir“. Adegan tersebut cukup memecah suasana pertunjukkan yang tadinya begitu hening. Dia juga sempat menyebar beras di area pertunjukkan. Lalu Bilawa memainkan satu alat musik gamelan, kemudian dia berpindah, bergerak ke arah Riyako, dan ikut menggerak-gerakkan tubuhnya. Lalu tiba-tiba datang juga aktor lain, kini kutahu dia bernama Ariel, yang tiba-tiba nimbrung diantara konstelasi itu, menulis dengan kapur berwarna kuning, pada lantai lapangan yang kupikir telah keras berlapis semen. Dia menulis kata-kata dalam bahasa Jerman seperti: ich, mein, mich, mir, du, dein, dich, dir, lainnya aku agak lupa. Ada saat di mana masing-masing aktor sibuk sendiri di posisinya. Di ujung pertunjukkan, mereka bertiga berjalan beriringan, menyanyikan lagu „Ilir-ilir“, bergerak menjauhi tempat pertunjukkan, hingga menghilang di antara rerumputan. Pertunjukkan disambung dengan pembagian makanan dalam bungkus serutan kayu kepada seluruh penonton. 

Meskipun aku hingga saat ini belum bisa menangkap apa yang ingin disampaikan dari segala elemen yang muncul dalam pertunjukkan itu, aku cukup menikmati pertunjukkan itu. Mungkin karena beberapa simbol yang ditampilkan cukup familiar denganku: kain batik, lagu jawa, judul berbahasa Indonesia. Pertunjukkan itu seperti judulnya, bertumpang-tindih, bercampur-aduk. Berbagai simbol ditempel di sana-sini, dinamika gerakan para aktor juga bertumpang-tindih, demikian dengan berbagai elemen di dalamnya. Pertunjukkan itu bagaikan perjumpaanku kembali pada Indonesia. 

Saat pertunjukkan usai, perjumpaan itu justru baru dimulai. Bilawa lah aktor yang pertama kali aku sapa. Kemudian aku terbang dari perbincangan satu ke perbincangan yang lain. Tanpa sadar muncul sosok-sosok lain, memecah lingkaran komunikasi kami untuk membentuk lingkaran baru. Area pertunjukkan berubah menjadi ruang diskusi dan temu kangen, kangen pada orang-orang yang belum pernah kutemui. Demikian seterusnya hingga hari yang panjang di musim panas itu hampir gelap. Sebuah pertunjukkan mungkin tidak selalu harus bisa menyampaikan pesan atau berkutat pada simbol dan makna. Bisa jadi beberapa pertunjukkan memang ditakdirkan untuk dinikmati, dirasakan. Mungkin itulah kesanku saat hadir untuk pertama kalinya pada pertunjukkan dari Soydivision di tanggal 31 Juli 2021 lalu. Dia menjadi bermakna karena aku tidak dapat memaknainya.

Ikuti Umi: @umilaut.
Baca tulisan-tulisan Umi di sini.

Published by

Avatar

Umi Maisaroh

Umi Maisaroh telah menyelesaikan jenjang studi master ilmu teater di Freie Universität Berlin. Pernah menjadi penari, pernah bermain teater boneka. Tapi kini lebih suka mengumpulkan cerita dan menggunakan berbagai medium untuk bercerita. Karya-karyanya merupakan hasil ketakjubannya akan kemurnian sains, renungan spiritual dan kebebasan seni.