Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Aryati. Dari sebuah gejolak yang samar, menunggu untuk bertemu, menunggu untuk berbincang.
You can read the translated english version here.
Berkenalan dengan Aryati
Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Aryati. Dari sebuah gejolak yang samar, menunggu untuk bertemu, menunggu untuk berbincang.
Sekapur sirih dari si Tukang Jahit
Saya sudah agak lupa jika harus menceritakan bagaimana awal pertemuan itu. Semua terkesan begitu kebetulan, tapi juga terencana, santai, tapi juga serius. Pada saat itu saya juga masih gelisah dengan diri saya sendiri. Perkenalan dengan Aryati, disatu sisi, merupakan angin segar, tapi juga tantangan tersendiri bagi saya. Entahlah. Namun intinya, dan akhirnya, Aryati memilih saya untuk menjadi penjahit kata-katanya.
Aryati telah lebih dulu dijemput oleh Ariel dari Jendela Sonorama. Di sana, Aryati sudah sedikit-banyak berbicara tentang dirinya. Jika semesta mengijinkan, Aryati akan berbicara dengan bahasa yang berbeda, mungkin juga akan ada lebih banyak hal yang ingin dia katakan, dalam sebuah perjamuan, di bulan Maret nanti. Namun sebelum saat itu tiba, ijinkan saya memberikan sedikit pengantar lewat tulisan ini.
Ada banyak hal yang berkelindan dalam tubuh Aryati, dan rasanya, Aryati sangat menunggu untuk menguraikan itu semua. Aryati menyapu periode sejarah Indonesia sejak masa kolonialisme hingga masa orde baru sekaligus. Aryati bercerita tentang musik keroncong. Aryati dikelilingi penjajahan. Aryati juga ingin berbicara sebagai perempuan. Dan yang paling penting, Aryati juga punya kisah cinta. Agak susah bagi saya untuk menjahit segala hal itu secara proposional. Namun segala kemungkinan itu ada. Dengan sedikit kesabaran, saya mencoba menjahitnya menjadi dua teks, satu bernama sinopsis dan yang lain berjudul sketsa adegan.
Sinopsis bisa dikatakan merupakan biografi singkat Aryati, dengan latar waktu, tempat, dan keterangan-keterangan secara umum. Sinopsis membatu saya untuk mengikuti latar alur kehidupan Aryati. Dari sinopsis ini, saya mengekstrak kembali bagian paling signifikan dalam hidup Aryati, untuk dituliskan dalam sketsa adegan. Jika sinopsis fokus pada alur cerita, sketsa adegan lebih fokus pada element-element atau simbol yang akan dimunculkan di panggung. Saya hanya ingin bilang bahwa sinopsis dan sketsa adegan adalah cara saya berkenalan dengan Aryati, siapa dia sebenarnya, dia akan bercerita dengan anda semua di perjamuan nanti.
Saya dan Aryati
Jauh sebelum berkenalan dengan Aryati, saya sudah bergelut dengan sejarah, kolonialisme, ketidak-adilan, dan cinta. Terlahir sebagai perempuan, di Indonesia, dari orang tua sederhana, buta huruf dan suku minoritas, saya mengalami inferiority complex syndrom yang berlapis. Menjadi perempuan dimana pun di dunia ini, selalu tidak mudah. Perempuan seringkali menjadi warga kelas kedua dan rentan menjadi korban kekerasan. Lalu menjadi warga negara bekas jajahan. Sadar atau tidak, sisa-sisa inferioritas masih sangat terasa bagi saya. Mungkin kisah Frantz Fanon yang paling bisa menggabarkan keadaan saya dulu. Dan saya tumbuh dari keluarga sederhana yang buta huruf, dari suku minoritas, tapi tinggal diantara suku mayoritas. Disini saya tidak perlu menjelaskan lebih banyak lagi. Pengalaman saya seumpama kelindan dalam tubuh Aryati.
Perlu waktu yang tidak sebentar untuk menterapi diri saya sendiri. Mungkin proses itu pula yang kini sedang dialami Aryati. Di satu sisi, dia sedang bergelut dengan masa lalu, tapi mesti meneruskan hidup dan menemukan cinta dalam bersamaan. Dan seringkali, proses terapi ini berhenti pada tahap seperti yang dikisahkan Frantz Fanon dalam bukunya “Black Skin White Mask”. Warga negara bekas jajahan seringkali mengelu-elukan kejayaan masa lalu bangsanya, membanggakan budaya dan seringkali merendahkan yang lain. Saya tidak ingin bilang bahwa membanggakan budaya itu buruk, tapi mungkin jika mau sedikit lebih sabar untuk menguraikan sejarah, sangat sulit untuk menemukan budaya yang benar-benar murni, terutama di negara-negara bekas jajahan. Contohnya seperti musik keroncong di Indonesia. Dia dibawa dari budak Portugis, yang ternyata mereka tawanan perang yang berasal dari Arab. Ada lagi yang bercerita bahwa keroncong dibawa dari Komedie Stamboel, sebuah grup teater yang rupanya berasal dari komunitas Parsi di India, yang komunitas teater ini juga terpengaruh teater dari Itali seperti Comedi de la Arte. Saya bukan ahli sejarah, tapi memang ada banyak versi, bagaimana musik keroncong itu bisa hadir di Indonesia. Saya hanya ingin mengatakan bahwa mencari budaya yang murni itu seperti mencari sebab tanpa akibat. Seperti yang dikatakan Schechner, “No culture is ‘pure’ –that is, no culture is ‘itself’”.1
Saya membaca sejarah dari tubuh Aryati bukan untuk mencari pembenaran satu pihak dari yang lain. Sejarah itu justru semakin meyakinkan, bahwa entah bagaimana, kita semua sebenarnya saling berkaitan. Aryati bukan hanya bercerita tentang Indonesia, dia juga menyinggung Belanda, Portugis, Jepang, bahkan Cina. Kemerdekaan Indonesia bergerak seiring memanasnya Perang Dunia Kedua, dan pemboman di Nagasaki dan Hiroshima. Penjajahan di Indonesia, dan di negara-negara lain, rupanya tidak lepas dari datangnya jaman pencerahan di Eropa. Dan demikianlah seterusnya. Tidak ada fenomena yang berdiri sendiri. Semua berjalan menurut sebab-akibat, kausalitas. Sejenak setelah dentuman besar memuai menjadi jagat raya, sejak itulah sebab tidak bisa dipisahkan dari akibat.
Jika sejarah adalah tentang rentetan sebab-akibat, waktu merupakan dimensi yang menghubungkan sebab-akibat ini. Jika mencari sebab kita bisa melihat ke belakang, waktu hanya bergerak satu arah, maju. Saya hanya bisa mengetahui apa yang terjadi di masa lalu (sejarah) tapi saya tidak bisa kembali ke masa itu. Jika saya ingin kembali ke masa lalu, berarti saya harus mengkondisikan segala hal seperti tepat pada masa itu. Itu berarti apapun yang terjadi pada momen itu, saat dimana saya ingin kembali, harus dikembalikan, semuanya, dan harus sangat akurat seperti apa yang terjadi saat momen itu. Saya harus mengubah segala keadaan di jagat raya ini, dan ini yang tidak mungkin saya lakukan, tidak mungkin kita lakukan. Jadi, sejarah ‚menghukum’saya, bahwa tidak ada peluang sedikit pun, untuk mengubah apa pun yang sudah terjadi di semesta ini. Tidak ada moment yang identik, dia tidak akan terulang. Beberapa hal bisa diperbaiki tapi banyak hal tidak.
Terlepas dari segala kegelisahan dalam tubuh Aryati, dia masih menyimpan satu hal, cinta. Jika berbicara cinta, saya seperti dibawa kembali pada kalimat-kalimat Khalil Gibran, atau karya-karya klasik Shakespeare, atau puisi penyair favorit saya, WS. Rendra. Tapi itu cara saya membaca cinta. Namun Aryati? Semoga anda seperti saya, tidak sabar untuk menantikan jejak cinta itu di panggung Aryati.
Saya tidak ingin terlalu banyak bercerita lagi tentang Aryati. Meskipun saya telah lebih dulu berbincang dengannya daripada anda, tapi tentu lebih tepat jika Aryati berbicara tentang dirinya sendiri langsung kepada anda. Dan waktu itu akan tiba, pada suatu hari di bulan Maret nanti. Semoga semesta raya menggiring kita semua berjumpa dengannya disana.
1 Schechner, R. (1989). Intercultural Themes. Performing Arts Journal, 11/12, 151–162. https://doi.org/10.2307/3245433. P. 151